Bulan Juli atau Januari akan menjadi waktu paling sibuk bagi semua elemen di sepakbola Eropa. Pada saat itu tiba maka jendela transfer dibuka, dan semua kesebelasan di Eropa bisa melakukan perekrutan pemain baru untuk mengonsolidasi kekuatan.
Kesibukan kemudian melanda para agen yang sibuk lobi sana, lobi sini untuk mencarikan klub bagi pemainnya. Kemudian media yang sibuk melempar rumor hingga memberitakan kepastian proses perekrutan pemain, dan yang pastinya adalah klub serta pemain itu sendiri yang memegang peran utama dalam pertunjukan drama berjudul bursa transfer.
Gegap gempita tentunya akan menyelimuti seluruh anggota tim, tak terkecuali para suporter ketika pemain incaran berhasil didapatkan. Apalagi kalau pemain yang berhasil didatangkan itu punya reputasi yang sangat bagus. Sehingga tak heran kalau ekspektasi membuncah pada sang pemain agar bisa memberikan kejayaan bagi sebuah kesebelasan.
Hanya saja tak sedikit pula pemain yang kedatangannya justru mengundang kekecewaan karena penampilannya tidak sesuai harapan. Alih-alih memberikan prestasi, memberikan kontribusi yang setidaknya mampu mengangkat performa tim yang telah merekrutnya pun tak bisa.
Kasus seperti itu bukan hal yang aneh dalam sepakbola, bahkan di kompetisi Eropa yang notabene dikenal paling kompetitif. Tidak sedikit status pembelian gagal itu dicap pada pemain yang didatangkan dengan harga mahal.
Pada musim 2016/2017 beberapa klub juga mengalami kerugian karena pemain yang didatangkan gagal memenuhi ekspektasi. Barcelona misalnya, beberapa rekrutannya seperti Jasper Cillesen, Denis Suarez, Lucas Digne, hingga Paco Alcacer gagal bersinar di Nou Camp. Mereka bahkan jarang diturunkan.
Tidak ada yang patut untuk disalahkan atau menanggung beban dosa dalam kasus pembelian gagal, karena sebenarnya itu adalah risiko dan lumrah terjadi. Gagal meningkatnya performa pemain setelah pindah dari satu klub ke klub lain juga biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya ketidakcocokan atau kesulitan beradaptasi dengan skema yang diterapkan oleh pelatih di klub barunya.
Atau bahkan dengan gaya permainan atau atmosfer kompetisi yang berbeda. Contohnya adalah Claudio Bravo yang sebelumnya begitu tangguh di bawah mistar Barcelona, namun ketika pindah ke Manchester City pada 2016 lalu itu lebih banyak dijadikan pelapis bagi Willy Cabalero oleh Joseph Guardiola.
Ada pula yang meredup sinar kebintangannya karena sang pemain gagal bersaing dengan pemain lama, contohnya adalah Jese Rodriguez yang menjadi pembelian gagal Paris saint Germain (PSG) pada musim lalu. Penyerang asal Spanyol itu kalah saing dengan beberapa penyerang PSG seperti Edinson Cavani, Angel Di Maria, atau bahkan Lucas Moura. Selain itu, Jese juga kerap tampil di bawah form terbaiknya. Akibatnya ia kemudian kesulitan mendapat tempat dan akhirnya dipinjamkan ke Las Palmas.
Menilai kegagalan atau keberhasilan transfer yang dilakukan kesebelasan memang hanya bisa dilihat dari performa dan kontribusi dari pemain itu sendiri, saat kompetisi sudah bergulir. Artinya tidak ada yang pasti dalam sebuah proses transfer.
Tidak ada jaminan bahwa pemain dengan label harga mahal juga statistik mengagumkan di klub sebelumnya bisa bersinar di tim barunya. Intinya tidak ada yang pasti dalam sepakbola, sekalipun itu soal pemilihan pemain di bursa transfer.
Facebook Tweet Whatsapp